Kamis, 25 Februari 2016

Diet Plastik Bukan Meninggalkan Plastik Sama Sekali

Ketika saya masih kecil, sekitar tahun 80-an, bila ibu menyuruh saya ke warung, beliau selalu membekali saya tas belanjaan. Di warung, pedagang membungkus apa saja memakai daun pisang, daun jati dan kertas. Bumbu dapur, bawang merah, bawang putih, lombok, bumbu pawon (rempah-rempah) dibungkus daun atau kertas.

Tempe dan tahu bacem dan segala macam gorengan serta lauk dibungkus dengan daun pisang atau daun jati. Kalau membeli sayur matang biasanya membawa rantang/wadah sendiri. Orang membeli  dan mengkonsumsi telur masih jarang. Kalaupun membeli rata-rata maksimal 8 butir. Kalau untuk telur memang dibungkus memakai plastik.

Sampai di rumah bumbu tadi dimasukkan ke dalam besek (anyaman dari bambu), kertas dan daun dikumpulkan. Daun bisa dibuang di tempat sampah, sedangkan kertas bisa dibakar (ah, ini tidak menjaga lingkungan. Jangan mencoba/membiasakan membakar benda-benda)

Untuk pembelian beras, ada kertas khusus atau memakai karung bekas gandum. Orang membeli minyak goreng di warung juga minyak goreng curah, sehingga untuk wadah harus membawa sendiri. Dulu  orang membeli minyak goreng juga tidak dalam jumlah banyak. Paling satu gayung, ukurannya 100 ml. Untuk menggoreng tempe, tahu, telur, gereh pethek. Tidak banyak orang yang membeli minyak dalam jumlah setengah sampai satu liter.

Ketika saya kecil dulu, orang menkonsumsi makanan hanya secukupnya dan tidak berlebihan. Orang juga tidak akan berbelanja berlebihan. Berbeda dengan orang sekarang. Semua bisa dibeli sekaligus dalam sebulan. Ada kulkas yang siap menampung sayur dan buah segar, telur, daging, dan lain-lain.

Alat makan piring, gelas dan mangkok masih dikuasai kaca (Bahasa Jawa: beling). Selain dari kaca juga dari aluminium, seperti piring blek, cangkir, teko. Sendok makan, sendok sayur (bahasa Jawa Irus), enthong dan suthil terbuat dari aluminium. Kalau di Yogyakarta, irus terbuat dari tempurung kelapa dengan pegangan bambu. Wadah makanan didominasi panci blirik (loreng-loreng hijau, coklat, atau biru), aluminium atau baja.

Ember terbuat dari seng atau karet. Tempat air, ada genthong, periuk (pengaron) terbuat dari tanah liat. Gayung disebut juga siwur terbuat dari tempurung kelapa dengan pegangan bambu.

00000

Sepuluh tahun kemudian, plastik mulai banyak dipakai orang. Untuk perabotan rumah tangga, mula-mula yang mulai memakai plastik adalah ember dan gayung. Piring dan tempat minum, nampan/baki, juga terbuat dari plastik. Produk daur ulang plastik membuat toko-toko, warung dan pasar dipenuhi aneka macam wadah dari plastik.

Kursi plastik, rak plastik (parahnya beberapa bulan yang lalu ada beras plastik, sungguh terlalu!), sepatu plastik. orang membeli satu gorengan saja pakai plastik. Roti satu (ukurannya sangat kecil) juga diberi wadah plastik. Wow, menjaga kebersihan dan biar sehat.

Tempe, daging, ikan, bumbu, sayur, buah, aneka minuman dan minuman wadahnya sebagian plastik. Belanjaan wadahnya plastik. Kalau dulu orang membeli barang, wadahnya/tasnya bawa sendiri kalau tidak membawa tas plastik biasanya kita harus beli. Kalau tidak beli berarti kita diberi tas bekas.

Sekarang tidak, warung kecil saja mengeluarkan tas plastik ongkosnya tidak dibebankan konsumen. Alasannya, tas plastik yang dikeluarkan sudah masuk dalam biaya produksi alias modal awal.

Lantas plastik yang sukar terurai ini menguasai dan mencemari lingkungan. Baik darat maupun air. Jangan tanya datanya dari mana, lihat saja di sekitar kita. Tidak perlu jauh-jauh dan butuh data kuantitatif.

Dengan alasan praktis, pemakaian plastik secara besar-besaran tidak dapat dicegah. Tapi kita bisa kok mengurangi penggunaannya. Mulailah dari keluarga kita. Kita memang tidak bisa meninggalkan plastik sama sekali, karena kita juga masih menggunakan benda/barang berasal dari plastik Coba dilihat isi dapur dan kamar mandi. Apakah benar-benar bebas dari plastik? Selamat, bagi Anda yang sudah bebas blas tak memakai barang/benda dari plastik.

Cek isi kulkas, kurangi pemakaian kantong plastik untuk wadah makanan/minuman (sebenarnya jangan menaruh makanan/minuman dalam plastik). Ingat, kantong plastik tidak sama dengan wadah plastik. Wadah plastik pemakaiannya bisa berulang-ulang dalam waktu lama (bisa dicuci). Kalau kantong plastik, biasanya pemakainannya relatif lebih singkat bahkan senderung sekali pakai.

Kalau sudah melihat isi rumah kita, seberapa banyak pemakain kantong plastik/wadah dari plastik maka kita beralih ke luar rumah kita. Di pinggir jalan sekarang banyak warung, mobil berjalan, motor berjalan atau outlet menyediakan minuman dengan wadah kantong plastik atau gelas plastik (beserta sedotannya). Apakah plastik tersebut kita mendapatkan secara gratis? O, tentu saja tidak.

Contoh satu porsi minuman (gelas plastik) dihargai dua ribu lima ratus rupiah. Apakah gelasnya gratis? Ternyata tidak. Bandingkan dengan minuman dalam kantong plastik dengan volume yang sama ternyata harganya jauh berbeda. Berarti ongkos wadah/gelas plastik dibebankan pada konsumen bukan? Keberatankah kita membayar wadah sekali pakai yang menimbulkan/membuat gunung sampah? Ternyata tidak!

Kalau di supermarket, toko, dan pasar sepertinya juga sudah diperhitungkan harga kantong plastiknya, sehingga harga barang juga sudah sewajarnya bervariasi. Kalau sekarang ada himbauan kantong plastik berbayar dan itu masih muriiiiih (murah banget). Orang tetap cenderung memilih membayar kantong plastik daripada repot-repot membawa dari rumah. Nah, sasaran diet kantong plastik/mengurangi kantong plastik jadi tidak tercapai. Butuh kesadaran dari kita, masyarakat yang mulai belajar peduli lingkungan.

Diet kantong plastik bukan meninggalkan plastik sama sekali. Ayo, bijak menggunakan bahan dari plastik. Mari merasa nyaman dan tak terbebani dengan menggunakan ulang kantong plastik yang sudah ada. Berdamailah dengan ikhlas membawa tas plastik, masukkan dalam tas kita atau saku kita. Tunjukkan pada pedagang kalau kita juga bisa diet kantong plastik. Jangan merasa berat hati, sebab nanti bawaannya marah melulu.

Saya cendurung setuju dan mendukung diet kantong plastik agar sampah plastik tidak menggunung dan mencemari lingkungan. Ayo, ayo, go green.

Karanganyar, 25 Pebruari 2016


6 komentar:

  1. betul mbak, niat baik pemerintah baik jadi kita perlu mendukung. Malah koar2 nolak ya. Memang belum bisa teratasi tapi paling tidak kita sdh ikhtiar

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mengatur orang seindonesiahhh itu tidak gampang, maka mulailah dari keluarga dengan anggota yang tidak banyak. Tanamkan pada diri kita bahwa yang kita lakukan baik untuk kita dan nantinya baik buat lingkungan, secara luas buat negara. Saya mendukung banget diet kantong plastik. Terima kasih Bunda Tira Soekardi atas dukungannya.

      Hapus
  2. Sebetulnya ini bukan masalah besar, hanya tentang kebiasaan. Kalau belanjaan bulanan, baru diperbolehkan pakai kantong kresek yang besar atau kardus. Bisa dipakai untuk tempat sampah juga :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mbak Winda. Kebiasaan kita akan terus kita bawa di mana dan kapan saja. Jangan lupa edukasi juga loh buat keluarga kecil kita. Kalau tiap keluarga punya pemikiran yang sama, alangkah hijau dan sejaknya lingkungan kita. Ayo, dukung geraakan diet kantong plastik

      Hapus
  3. sama. dulu ibu saya kalo ke pasar jg bawa tas belanja sendiri. kalaupun perlu kresek tambahan itu juga kresek yang sdh dipakai berulang kali. jadi kresek habis dipakai dilipat dan disimpan sama ibu saya utk dipakai lagi ketika beliau belanja ke pasar. orng jaman dulu emang lebih go green ya hehe.... jaman makin maju orang makin gak peduli sama sekitar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul mbak rita. orang jaman dulu sama orang sekarang memang beda pola pikirnya. kalau sekarang, orang mikirnya serba praktis tapi dampak buruknya tak diperhitungkan. terima kasih sudah mampir

      Hapus